Jeroan merupakan sebutan untuk organ dalam dari hewan yang biasanya diolah menjadi berbagai jenis masakan. Organ dalam tersebut dapat berupa hati, paru, jantung, limpa, otak, lidah, babat, dan usus. Di Indonesia, banyak masakan yang dibuat dari bahan dasar jeroan ayam maupun sapi seperti soto babat, gulai otak, paru goreng, atau satai hati ampela.

Banyak orang yang menggemari masakan olahan jeroan karena rasanya yang dianggap unik dan nikmat. Namun, ada juga yang menghindarinya karena berbagai alasan kesehatan. Padahal menurut beberapa penelitian menunjukkan bahwa jeroan memiliki banyak manfaat untuk menunjang kesehatan apabila dikonsumsi dalam jumlah yang wajar.

Kandungan Gizi Jeroan

Berbagai manfaat jeroan untuk kesehatan berasal dari kandungan zat gizinya. Kandungan gizi pada jeroan bisa berbeda, tergantung pada sumber hewan dan jenis organ. Akan tetapi, sebagian besar organ sangat bergizi. Faktanya, kebanyakan lebih banyak nutrisi daripada daging otot. Jeroan sangat kaya akan vitamin B, seperti vitamin B12 dan folat. Selain itu,  jeroan juga kaya akan mineral, termasuk zat besi, magnesium, selenium dan seng, dan vitamin-vitamin penting yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E dan K.

Manfaat Jeroan untuk Kesehatan

Seperti produk hewani lainnya, jeroan juga sumber protein yang sangat baik. Terlebih lagi, protein hewani menyediakan semua sembilan asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh manusia untuk berfungsi secara efektif. Berikut ini manfaat yang bisa kita dapatkan dari mengonsumsi jeroan :

  1. Sumber zat besi yang sangat baik: Daging mengandung zat besi heme yaitu jenis zat besi dari sumber hewani yang lebih mudah diserap tubuh daripada zat besi non-heme dari makanan nabati (Monsen E. R., 1988).
  2. Membuat kenyang lebih lama: Banyak penelitian menunjukkan bahwa pola makan tinggi protein dapat mengurangi nafsu makan dan mempercepat rasa kenyang. Mereka juga dapat mendukung penurunan berat badan dengan cara meningkatkan laju metabolisme (Leidy, H. J. et al, 2010).
  3. Dapat membantu mempertahankan massa otot: Daging organ adalah sumber protein berkualitas tinggi, yang penting untuk membangun dan mempertahankan massa otot (Aubertin-Leheudre, M., & Adlercreutz, H. , 2009).
  4. Sumber kolin yang baik: Daging organ adalah salah satu sumber kolin terbaik di dunia, yang merupakan nutrisi penting bagi kesehatan otak, otot, dan hati. (Zeisel, S. H., & da Costa, K. A. , 2009).
  5. Harga yang relatif lebih murah dan pengurangan limbah makanan: jeroan bukanlah bagian yang populer, sehingga Anda sering mendapatkannya dengan harga murah. Makan bagian-bagian hewan juga mengurangi limbah makanan.

Dampak Buruk mengonsumsi Jeroan

Meskipun jeroan kaya akan zat gizi penting, tapi bukan berarti Anda dianjurkan untuk mengonsumsi jeroan terlalu sering atau terlalu banyak. Selain zat gizi yang telah disebutkan tadi, jeroan juga memiliki senyawa purin yang sangat tinggi. Bukan hanya itu, jeroan juga mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi. Daging organ kaya akan kolesterol, terlepas dari sumber hewani.

Banyak asumsi yang mengaitkan konsumsi tinggi kolesterol dengan kejadian penyumbatan arteri dan penyakit jantung karena beranggapan bahwa tubuh manusia sudah dapat memproduksi kolesterol melalui hati.  Namun, kolesterol diproduksi oleh hati Anda, yang mengatur produksi kolesterol tubuh Anda sesuai dengan asupan kolesterol dari makanan Anda (Jones, P. J et al, 1996).

Ketika Anda makan makanan kaya kolesterol, hati Anda merespons dengan memproduksi lebih sedikit. Oleh karena itu, makanan tinggi kolesterol hanya memiliki efek kecil pada kadar kolesterol darah total Anda (Lecerf, J. M., & de Lorgeril, M. , 2011).

Disimpulkan bahwa kolesterol makanan tidak secara signifikan terkait dengan penyakit jantung atau stroke pada orang dewasa yang sehat (Fernandez M. L. ,2012).

Namun demikian, tampaknya ada subkelompok individu – sekitar 30% dari populasi – yang sensitif terhadap kolesterol makanan. Bagi orang-orang ini, mengonsumsi makanan yang kaya kolesterol dapat menyebabkan peningkatan total kolesterol (Fernandez M. L. , 2012).

Rekomendasi Konsumsi

Rekomendasi konsumsi setiap orang dapat berbeda. Berikut ini beberapa orang yang mungkin lebih rentan terhadap konsumsi jeroan dalam jumlah tinggi dan perlu membatasi konsumsinya.

  1. Orang dengan Gout Perlu Memoderasi: Gout adalah jenis radang sendi yang umum. Ini disebabkan oleh tingginya kadar asam urat dalam darah, yang menyebabkan persendian menjadi bengkak dan lunak. Purin dalam diet membentuk asam urat dalam tubuh. Daging organ sangat tinggi purinnya, jadi penting untuk makan makanan ini dalam jumlah sedang jika Anda menderita asam urat (Choi, H. K. et al, 2004).
  2. Wanita Hamil Harus Memperhatikan Asupannya: Daging organ adalah sumber yang kaya akan vitamin A, terutama hati. Selama kehamilan, vitamin A memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan janin. Namun, National Institutes of Health merekomendasikan tingkat asupan tertinggi 10.000 IU vitamin A per hari, karena asupan berlebihan telah dikaitkan dengan cacat lahir yang serius dan kelainan. Oleh karena itu, penting untuk memantau asupan daging organ selama kehamilan, terutama jika Anda mengonsumsi suplemen yang mengandung vitamin A.
  3. Kekhawatiran Tentang Penyakit Sapi Gila: Penyakit sapi gila, yang dikenal secara resmi sebagai bovine spongiform encephalopathy (BSE), mempengaruhi otak dan sumsum tulang belakang sapi. Penyakit ini dapat menyebar ke manusia melalui protein yang disebut prion, yang ditemukan di otak dan tulang belakang yang terkontaminasi. Ini menyebabkan penyakit otak langka yang disebut varian baru Creutzfeldt-Jakob disease (vCJD) (Acheson D. W., 2002). Untungnya, ada pengurangan dramatis dalam jumlah kasus penyakit sapi gila sejak larangan makan diberlakukan pada tahun 1996. Larangan ini membuatnya ilegal untuk menambahkan daging dan ternak ke pakan ternak (Brown, P., et al, 2001). Di sebagian besar negara, risiko pengembangan vCJD dari sapi yang terinfeksi sangat rendah. Namun, jika Anda khawatir, Anda bisa menghindari makan otak dan tulang belakang sapi.

Kontributor: Hafshah Farah Fadhilah, mahasiswi Semester 6 Sarjana Gizi FKM UI


Referensi:
Acheson D. W. (2002). Food Safety: Bovine Spongiform Encephalopathy (Mad Cow Disease). Nutrition today37(1), 19–25. https://doi.org/10.1097/00017285-200201000-00007
Aubertin-Leheudre, M., & Adlercreutz, H. (2009). Relationship between animal protein intake and muscle mass index in healthy women. The British journal of nutrition102(12), 1803–1810. https://doi.org/10.1017/S0007114509991310
Brown, P., Will, R. G., Bradley, R., Asher, D. M., & Detwiler, L. (2001). Bovine spongiform encephalopathy and variant Creutzfeldt-Jakob disease: background, evolution, and current concerns. Emerging infectious diseases7(1), 6–16. https://doi.org/10.3201/eid0701.010102
Choi, H. K., Atkinson, K., Karlson, E. W., Willett, W., & Curhan, G. (2004). Purine-rich foods, dairy and protein intake, and the risk of gout in men. The New England journal of medicine350(11), 1093–1103. https://doi.org/10.1056/NEJMoa035700
Fernandez M. L. (2012). Rethinking dietary cholesterol. Current opinion in clinical nutrition and metabolic care15(2), 117–121. https://doi.org/10.1097/MCO.0b013e32834d2259
Jones, P. J., Pappu, A. S., Hatcher, L., Li, Z. C., Illingworth, D. R., & Connor, W. E. (1996). Dietary cholesterol feeding suppresses human cholesterol synthesis measured by deuterium incorporation and urinary mevalonic acid levels. Arteriosclerosis, thrombosis, and vascular biology16(10), 1222–1228. https://doi.org/10.1161/01.atv.16.10.1222
Lecerf, J. M., & de Lorgeril, M. (2011). Dietary cholesterol: from physiology to cardiovascular risk. The British journal of nutrition106(1), 6–14. https://doi.org/10.1017/S0007114511000237
Leidy, H. J., Armstrong, C. L., Tang, M., Mattes, R. D., & Campbell, W. W. (2010). The influence of higher protein intake and greater eating frequency on appetite control in overweight and obese men. Obesity (Silver Spring, Md.)18(9), 1725–1732. https://doi.org/10.1038/oby.2010.45
Monsen E. R. (1988). Iron nutrition and absorption: dietary factors which impact iron bioavailability. Journal of the American Dietetic Association88(7), 786–790.
Zeisel, S. H., & da Costa, K. A. (2009). Choline: an essential nutrient for public health. Nutrition reviews67(11), 615–623. https://doi.org/10.1111/j.1753-4887.2009.00246.x

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *